OB

Pagi ini Ambar memandangi mug putih di meja kerjanya dengan berbinar. Garis hitam kopi kemarin masih menghiasi mug itu. “Ah, ini belum dicuci, berarti gue belum terlambat, nggak sia-sia ngebut membuntuti iringan kawalan pejabat di Tol tadi”, ujarnya dalam hati sembari membenarkan rambut lurusnya yang sedikit berantakan.

Jam kerja masih 45 menit lagi, namun Ambar sudah duduk manis di hadapan monitor komputernya. Belum, monitor itu belum dinyalakan, Ambar masih tidak ingin melihat pekerjaan, alih-alih layar kaca 15 inchi itu disalahgunakan sebagai cermin dadakan. Kurang jelas memang, tapi cukup untuk membantunya memperbaiki penampilannya pagi ini.

Kantornya di kawasan Rasuna Said, Jakarta Pusat masih sepi. Supervisor dan co-workers di departemennya belum datang. Namun, tidak berapa lama, terdengar 3 ketukan pelan di pintu kantornya. Ah itu dia datang!, buru-buru Ambar menegakkan duduknya, merapikan bawahan hitamnya, melihat sekilas ke cermin dadakannya.

Mas Pri, panggilannya. Lelaki tegap asal Banyuwangi ini baru 3 bulan bekerja sebagai Office Boy di kantor Ambar, dan selama 3 bulan itu juga dia selalu rajin bermain di pikiran Ambar. “Assalamualaikum”, suara berat dibarengi dengan senyuman manis itu membuyarkan fokus Ambar dari bulu-bulu halus yang hari ini ramai menghiasi wajah Mas Pri. “Ah, em, iya wa’alaikumsalam Mas”, balas Ambar kaget, malu dengan apa yang barusan lewat dipikirannya.

Seperti hari-hari sebelumnya, Mas Pri dengan sopan menundukkan pandangannya sambil mengambil mug-mug di atas meja-meja kerja untuk dicuci. Ambar mengamatinya dengan seksama. Kenapa dia selalu menunduk? Kenapa dia tidak pernah memandang wajahku? Apa aku tidak menarik? Ambar selalu bertanya-tanya dalam hati. Paras keturunan Padang-Jerman ini bukan paras yang jarang mengundang pujian, hidung mancung  yang menjulang menemani kedua mata coklat tua yang indah, belum lagi bibir tipisnya yang selalu dihiasi senyum, rasanya jarang orang hanya melihat satu kali.

Sengaja, Ambar memegangi mug putih miliknya. Tidak dia minum, karena memang tidak ada isinya, hanya dia pegang dengan dua tangan di pangkuannya. “Maaf, gelasnya”, ujar Mas Pri pelan. Sengaja, Ambar diam saja. Mas Pri mengulangi, “Emm, maaf gelasnya saya cuci atau..”, “Atau apa?” Balas Ambar cepat dengan nada sok ketus. Ekspresi takut dan kaget Mas Pri kontan membuat Ambar tertawa. Hahaha polosnya orang ini, ujar Ambar dalam hati.

Kesederhanaan Mas Pri-lah yang semula menarik hati Ambar. Jauh berbeda dengan pria-pria yang lalu-lalang di kehidupannya. Ambar selalu merasa lelaki sekarang terlalu banyak aksesori, dan memang dia selalu punya soft spot  buat laki-laki yang tidak neko-neko seperti Mas Pri. Ditambah lagi ada perasaan janggal di hati Ambar setiap berada di dekat lelaki itu. Dia ingat sekali, perasaan itu mulai tumbuh hari pertama Mas Pri bekerja.

Masih jelas di ingatan Ambar, hari itu hujan deras sepanjang hari, dan Ambar tahu jalanan Ibukota akan sangat macet dan melelahkan. Dia sengaja berlama-lama bersantai di Mushola kantornya yang nyaman ketika tidak terasa sayup-sayup terdengar adzan maghrib mulai berkumandang. Tidak berapa lama datanglah seorang lelaki dengan wajah dan tangan yang basah dengan air wudhu, tersenyum ke arah Ambar yang sedang bersiap sholat. “Mari berjamaah”, ujarnya dengan lembut.

Mushola magrib itu sepi, hanya Ambar dan imam yang belum dikenalnya ini. Wajahnya asing, sepertinya bukan orang kantor sini, mungkin tamu. Seketika ada perasaan hangat merasuk ke dada Ambar semenjak mendengar takbir. Bacaan Al-Fatihah yang fasih dan tenang membuat hati Ambar terhanyut dalam khusyuknya sholat berjamaah malam itu. Salam telah diucapkan, puji-pujian kepada Rasul sudah dipanjatkan, dan Ambar dengan rasa penasaran langsung membuka percakapan.

Maghrib itu, disusul maghrib-maghrib berikutnya. Perbincangan santai diselingi sedikit canda selalu mengalir begitu saja. Mas Pri bagai mentor untuk Ambar. Dari Mas Pri-lah Ambar mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya mengenai agama. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tidak dia tahu dimana jawabannya. Jawaban yang didapat selalu jauh dari kesan menggurui apalagi menghakimi. “Saya hanya berbagi”, selalu begitu ujar Mas Pri.

3 bulan ini terasa cepat sekali, Ambar sekarang lebih bersemangat kerja, datang paling pagi, dan pulang terakhir sendiri, semua hanya karena Mas Pri.

Rasanya sekarang Ambar hampir tidak bisa menahan perasaan lagi. Rasa yang semula hanya sebuah titik hangat di ulu hati, semakin lama semakin meluas, memanas, mengeras, kemudian mengganas. “Duh, kalau dilanjutin begini terus bisa-bisa gue nggak waras”,  ucap Ambar dalam hati malam itu sambil berbaring mengusap-usap dadanya yang sesak. Berusaha keras untuk  tidur namun selalu gagal. “Kenapa..Mas Ambar insomnia lagi?”, tanya istrinya.