Parade Budaya dan Bunga Surabaya 2014

Mendung gelap yang menggelayut di atas pusat kota Surabaya sore itu, Minggu (4/5/2014), tidak mengurungkan niat tiga orang wanita untuk berlari-lari kecil menyeberangi Jalan Basuki Rahmat. Hujan rintik-rintik itu seketika menjadi jauh lebih deras, ketika rombongan tiga wanita itu, Ibuk, Mbak Nadia dan saya, sampai di depan Hotel Citihub untuk menonton Parade Budaya dan Bunga 2014.

Rupanya determinasi Ibuk untuk menonton pawai meskipun cuaca tidak mendukung juga dimiliki oleh ratusan warga Surabaya lainnya. Suasana waktu itu agak absurd menurut saya, ratusan orang berjejer untuk menunggu pawai dengan senyum yang sedikit dipaksakan, kegirangan tapi kehujanan. “Lhoalah, udan rek“, ujar ibu disamping saya sambil memakaikan tas plastik ke kepalanya dan anak balita nya. Iya, kebanyakan dari kami tidak memiliki kenikmatan berteduh di bawah payung. Helm, jas hujan, bahkan koran dijadikan pelindung dari hujan sore itu.

Pawai yang dinantikan datang, kendaraan-kendaraan pawai yang megah dan bertabur bunga itu kebanyakan ditutup oleh terpal agar alat-alat elektronik di dalamnya tidak rusak, para penari yang sudah berdandan cantik itu berjalan beriringan sambil menggunakan payung, gitapati dengan hak tinggi dan baju gemerlap itupun memandu orkes barisan dibelakangnya dengan tertunduk. But, the show must go on.

Setelah menemukan sapu tangan untuk menutupi bagian atas lensa fix Canon 50 mm f/1.8 yang saya bawa, saya buru-buru memburu foto, berikut suasana Pawai Budaya Dan Bunga Surabaya 2014 yang tertangkap oleh kamera saya..

Behind The Scene.

Behind The Scene.

Please Spread My Wings.

Please Spread My Wings.

The Anticipation.

The Anticipation.

Happy Birthday, Surabaya.

Happy Birthday, My City.

Udan, Rek.

Udan, Rek.

Cuma Senyum yang Belum Luntur.

Senyum yang Belum Luntur.

Please, don't rain on my parade..

Please, don’t rain on my parade..

The Thirsty Eagle.

The Thirsty Eagle.

The Face of Parade.

The Face of Parade.

The Blower Father.

The Blower Father.

The Dancing Daughters.

The Dancing Daughters.

The Fishermen.

The Fishermen.

The Wifes.

The Wifes.

The Kingly Smile.

The Kingly Smile.

The Queen.

The Queen.

The Drag Queen.

The Drag Queen.

The Other Drag Queen.

The Other Drag Queen.

The Amused Crowd.

The Amused Crowd.

The Dancer.

The Dancer.

The Flirty Monkey.

The Flirty Monkey.

The Ferocious Lion.

The Ferocious Lion.

The Strength.

The Strength.

Penonton Setia.

The Loyal Audience,

Sidoarjo Fishermen

Sidoarjo Fishermen

Young fishermens are waiting for the annual ceremony of “Nyadran Laut” at Kepetingan, Sidoarjo, East Java, Indonesia. It is a traditional ceremony and ancient custom of Sidoarjo’s Fishing Village. Passed through generations, today Nyadran Laut is a large, annual festival where the community get together and celebrate the day by offering gifts, such as food and natural products, and float it to the sea, followed by gathering and praying at Dewi Sekardadu’s cemetery, a princess from the old Blambangan Kingdom of Banyuwangi whom also the mother of Sunan Giri, one of nine Java’s first moslem missionaries.