Pergi ke “Rumah”

Pernah merasa “dirumah” ketika sedang berpergian? Berada di tempat yang pertama kali didatangi tapi entah kenapa terasa dekat di hati. Buat saya, tempat itu adalah Masjidil Haram, Mekkah, Saudi Arabia.

Saya sedang sibuk menikmati pagi, croissant keju, dan susu coklat hangat di selasar pertokoan Bin Dawood, ketika tante-tante rombongan tour saya menyapa. “Mbak Dhira, kok sendirian? ayo naik..”, saya hanya tersenyum dan menolak dengan alasan sarapan yang saya beli belum habis. Iya, saya masih tidak ingin naik ke kamar saya di lantai 6, suasana pagi di kota ini terlalu menarik untuk ditinggalkan demi empuknya kasur hotel.

Rasanya kantuk belum menghampiri saya. Entahlah, sejak saya sampai di kota ini, kantuk jarang silaturahmi. Well, maybe I’m just too excited to be here. Jelas saja, selama ini minimal lima kali sehari saya menghadap kearah sini, dari rumah, dari kantor, dari manapun, saya sibuk memastikan bahwa saya sudah benar menghadap kemari. Menghadap ke kiblat.

and here I am. Enjoying my breakfast just meters away from Ka’bah. 

Jujur, sekarang saya lapar. Sejak disini saya selalu merasa lapar. Banyaknya aktivitas fisik, minimnya waktu istirahat, membuat tubuh saya butuh lebih banyak bahan bakar dari biasanya. Obsessive Corbuzier’s Diet? Haha. I think I’ve left that somewhere in Sidoarjo. Bahkan rasanya sarapan 10 Riyal ini belum cukup mengganti kalori yang hilang karena thawaf sunnah tadi pagi.

oh ya. FYI, friday morning thawaf is a highly recommended activity in Mecca. 

Beneran. Ada rasa puas yang berbeda di hati setelah melaksanakan thawaf di Jum’at pagi. Tapi, memang butuh persiapan fisik dan mental terlebih dulu, karena jika dibandingkan dengan hari lain, akan jauh lebih banyak saudara muslimin dan muslimah yang membanjiri Masjidil Haram di hari yang penuh keutamaan ini.

Pagi tadi, selepas shalat Subuh berjamaah, saya dan rombongan kecil saya bersiap menuju ke area thawaf. Rombongan kecil yang terdiri dari 1 ibu lansia, 3 ibu muda, dan 1 bapak ustadz yang berbaik hati menemani.

Saya tidak menyangka suasananya akan sepadat itu. Benar berbeda dengan hari-hari kemarin. Emm, pernah menonton konser musik Rock? ya, bisa dibayangkan manusia sejumlah itu bergerak bersama, perlahan melawan arah jarum jam.

“Aduh bagaimana nanti budhe ini kalo nggak kuat?”, rasa khawatir sempat melintasi hati, terpikirkan anggota rombongan saya yang sudah 70 tahun keatas. Tapi rasa itu hilang seketika melihat yang bersangkutan tersenyum mengamit lengan saya, “Ayo Mbak Dhira, pantang mundur.”, “Budhe, kuat?”, “InshaAllah.” Kilauan semangat di mata beliau menguatkan saya. Berbekal beberapa botol kecil air zamzam, tasbih, dan buku panduan doa, kita menyejajarkan diri dengan Hajar Aswad, mencium tangan kanan dan melambaikan ke Ka’bah, memulai thawaf dengan membaca “Bismillahi Allahu Akbar”.

Pundak berdempet pundak, umat islam dari berbagai suku bangsa berjalan mengelilingi Ka’bah pagi tadi. Laki-laki, perempuan, muda, tua, besar, kecil, sendirian, atau berbaris beregu, berjalan perlahan, maupun terburu-buru. Kami semua berada disini dengan tujuan yang sama, sebab yang sama, niat yang sama, bahkan melafadzkan bacaan yang sama.

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungi kami dari siksa neraka”.

Dalam keadaan yang benar-benar padat itu, putaran demi putaran perlahan kami jalani. Keadaan selalu bertambah padat ketika mendekati Hajar Aswad, banyak muslimin yang ingin langsung menuju batu dari surga itu dengan memotong jalan dari lingkaran luar, sehingga seringkali rombongan kami hampir terputus karena desakan dari arah luar. Pak Ustadz yang berada paling depan dengan jelas berkata pada saya, “Jangan pake tenaga, dek. Pasrah. Diikuti aja. Jangan dilawan.”

Panik, terhimpit dari berbagai arah, tangan kiri saya refleks merangkul Budhe tadi. Saya hanya takut beliau pingsan kehabisan nafas. Perempuan sepuh pemberani ini tidak sedikitpun membunyikan keluhan, bibirnya tidak berhenti bertasbih, meskipun ada saat-saat dimana kaki ini rasanya tidak melangkah, desakan arus manusia yang begitu kuat menyeret kami yang tanpa perlawanan. SubhanAllah. Jujur, seumur hidup, saya belum pernah merasa se-tidak berdaya itu.

Tapi entah bagaimana caranya, rombongan kami yang terhitung mungil-mungil dibandingkan jamaah dari bangsa-bangsa lain, perlahan berjalan semakin dekat dengan Ka’bah. Lingkaran yang kami putari semakin mengecil, hingga akhirnya, untuk pertama kalinya saya dapat menyentuh Ka’bah.

Kedua tangan saya memegang kain hitam kiswah dengan erat, menyangga badan saya yang tiba-tiba lemas. Ah. Saya tidak bisa menggambarkan rasanya disini. Campur aduk. Haru, senang, sedih, malu, rindu, dan banyak lagi. “Ayo, dek. Lanjut. Gantian sama yang lain.”, ujar Pak Ustadz kepada saya yang lagi mewek.

Sekitar tiga putaran tersisa, dan rasanya semakin banyak orang yang menjalani thawaf pagi ini. Berulang kali terseret arus, saya hampir kehabisan nafas. Ketika saya menengadah untuk menarik nafas panjang, disitu saya melihat sesuatu yang akan sukar saya lupakan.

Puluhan burung dengan berbagai ukuran. Saya kurang tahu pasti jenisnya. Yang jelas, burung-burung itu tidak beranjak dari atas Masjidil Haram. Burung-burung kecil berkelompok terbang membentuk lingkaran yang lebih kecil. Burung-burung Elang dengan anggun dan tanpa mengepakkan sayap berulang kali terbang tenang berputar diatas Ka’bah. SubhanAllah. Mungkin, mereka sedang Thawaf bersama kami. Mungkin juga, itu para Malaikat. Tiba-tiba capek dan sesak yang saya rasakan sebelumnya hilang. Saya merasa sedang menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada diri saya. Saya sedang memutari Ka’bah bersama semua orang ini dan semua burung itu. Dan itu perasaan yang luar biasa.

Tidak ada lagi yang menjadi harapan saya saat itu. Ya Allah, saya ingin kembali. Ijinkan saya pulang ke RumahMu lagi…

40th Day

Touching piece :’)

.koprolkata

I just finished baking a batch of brownies when I realized, I don’t have anyone particularly worthy to receive them at the moment. So i let the brownies just lie there, cooling itself. The top crystalizing beautifully as the crushed pecans and walnuts gathered moisture from the eggs.

I never really eat the stuff I cook. I somehow always become full during the process. The only times I cook is upon impulse. Whenever a colleague pisses me off, I end up trying a new recipe.

What’s worse is whenever my incompetent boss yells at me, I go home and I start doing excessive cleaning, which I seldom complete until past midnight. And causes me to be late and decide not to go to work the following day. Only giving more fuel for my boss’ to despise me.

I’m sure Aunt Maggie and Gramps were waiting for a slice of my…

Lihat pos aslinya 1.169 kata lagi