Ibuk, Aku Gagal.

rasa apa ini? seperti logam cair dari kerongkonganku.

ah tunggu? dimana kakiku?


sore menjelang malam. terang siang perlahan menghilang ketika kulangkahkan kaki-kaki layu ku di sepanjang jalan itu.

jalan itulah tempat lahirku. tepat dibawah rindang Trembesi, di balik kekar akarnya yang sibuk berpanco dengan aspal, disitu aku pertama membuka mata.

kulihat ada ibuk. ada 3 saudara kandung. tidak kulihat bapak. haha. dulu, fakta itu selalu menggelitik jiwa muda ku yang penasaran.

buk, bapak kemana buk? tanyaku pada ibuk yang sibuk membersihkan diri. waktu itu ibuk acuh.

buk, bapakku yang mana buk? itu bapak buk? bapak itu buk? buk, itu bapak bukan buk? buk? buk?

Risih. ibuk pun mengindahkan. ah. masih jelas di ingatan kata-kata ibuk yang di-tegas-tegaskan.

dengarkan ibuk ya le. bapak kamu bukan yang loyo, bukan yang lapar, bukan yang lunglai, bukan yang berpenampilan lemes kayak gitu. bapak kamu itu pejantan tangguh. bapak kamu itu PERKASA. inget itu.

ha. iya buk, terlalu perkasa untuk setia. ujarku dalam hati.

kata orang memang bapakku itu adalah pejantan alfa. punya kekuatan. punya modal. punya penampilan. punya semuanya. siapa coba yang berani melawannya? betina mana coba yang tidak nyah-nyoh ke dia setiap musimnya tiba?

Duh gusti. musim itu sudah dekat.

hormon jantan di nadi-nadi ini sudah dawuh untuk segera bertindak. kulihat dimana-mana semua sudah pasang kuda-kuda. sibuk pagari teritori. saling lirik-melirik kanan-kiri. mengecek siapa yang paling birahi.

lha aku kudu piye? 

pejantan lesu macam aku mustahil dapet jatah kursi. disikut sedikit aku sudah benjut. dicakar sedikit aku takut. digertak sedikit saja nyaliku mengkerut.

hey Alam! mungkin nggak sih aku lolos seleksimu? Seleksimu itu terlalu ketat! rasanya lebih ketat dari celana perempuan sekarang. Buat aku yang seperti ini merasakan kenikmatan itu rasanya cuma mimpi, lebih-lebih meneruskan keturunan. Duh! lama-lama hati ini konstipasi.

yasudahlah, aku sudah lelah. Lebih baik kulanjutkan saja perjalanku menuju haribaan Trembesi kesayangan.

nah itu dia berdiri gagah di pinggir perempatan. angin malam menggoyang dahannya seakan melambaiku untuk segera menyeberang. ah. ibuk aku pulang.

eh. sinar terang apa itu dari sisi kiriku?

.

.

kelopak mataku berat. tapi kuberusaha keras membukanya. apa itu tadi? apa yang barusan terjadi? kenapa aku tidak bisa berdiri? kenapa lidahku terasa seperti logam?

kulihat ke atas, manusia yang sering tidur siang di bawah Trembesi-ku berjalan mendekati. kenapa dia terlihat terganggu? untuk apa koran itu?

ditutupinya aku dengan koran, diangkatnya aku dari tengah jalan. hei tunggu sebentar, dimana kaki ku?

berhenti dulu. berhenti! apa aku ini sudah mati?

lho. aku belum puas hidup cuma begini. belum habis kususuri jalanan kota ini. kenapa? kenapa sekarang? apa gara-gara buluku belang tiga yang bawa sial ini?

yah, buk. aku gagal. aku mati. disini, lobang dangkal dibalik akar Trembesi.

7 komentar di “Ibuk, Aku Gagal.

  1. Ping balik: Bingung Tengah Tahun | Tripofloxacin

Tinggalkan komentar